Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
Alkhamdulillahi rabbil 'alamin, Wa bihi nasta'iinu 'alaa umuuriddunya waddiin, wash shalatu was salamu 'alaa asyrafil anbiya i wal mursalin, wa 'ala aalihi wa ash-habihi ajma'in, amma ba'du:
Saudara, hadirin dan hadirat sekalian terhormat. Pada kesempatan yang berbahagia ini, marilah kita panjatkan puji syukur yang sedalam-dalamnya kehadirat Allah swt. berkat rahmat, anugerah dan hidayah-Nya, kita telah sampai puncak kemenangan dan kebahagiaan dalam suasana hari raya Idul Fitri. Sebuah kebahagiaan yang didasarkan atas argumentasi agama, sebuah kebahagian dan kemenangan yang didisarkan pada, keimanan.
Sebagai makhluk sosial, kita tidak akan dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan orang lain. Sebagai manusia, kita harus senantiasa menjaga hubungan baik secara vertikal kepada Allah dan secara horisontal, terhadap sesame manusia. Ceremoni ritualIdul Fitri mengandung muatan ibadah baik secara vertikal maupun horisontal. Ibadah sosial pada Idul Fitri tidak hanya terbatas pada solidaritas sosial, juga harus bermurah hati dalam aspek moral dan spiritual dengan bersilaturrahim dan saling maaf memaafkan. Tindakan moral sepiritual inilah yang oleh masyarakat Jawa bahkan umumnya bangsa Indonesia dijadikan sebagai ritual pokok dalam berhari raya Idul Fitri.
Setelah dosa secara vertikal terampuni dengan melakukan ibadah puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan ridhà Allah swt. maka dosa horizontal pun harus diupayakan dapat terampuni pula, sehingga kita benar-benar dalam kondisi fitrah bersih dan suci dari dosa-dosa baik secara vertikal maupun horisontal. Dari sinilah maka budaya saling maaf memaafkan menjadi melembaga di dalam merayakan Idul Fitri dikalangan masyarakat kita yang lebih popular dikenal dengan istilah Halal Bihalal.
Budaya lebaran dengan berbagai tradisinya itu merupakan contoh, yang elok, bagaimana idiom-idiom Islam diterjemahkan secara cerdas dan kreatif ke dalam budaya kita bangsa Indonesia. Silaturrahim dan halal bihalal adalah untuk saling maaf memaafkan antara anak dan orang tua, antara suainidan istri, antara teman sepermainan, antara tetangga, antara atasan dan bawahan, antara rekanan bisnis, antara petani, antara murid dan guru, juga di antara politisi sehingga terjadilah hubungan yang harmonis dan asosiatif di antara mereka.
Dalam konteks inilah seorang Antropolok Amerika Clifford Geertz menyatakan dalam bukunya The Relegious Of Java, bahwa lebaran merupakan wadah yang mampu mengakomodasikan perbedaan dan sebagai arena solidaritas, dimana anggota-anggota masyarakat yang tadinya terpisah secara vertikal maupun horisontal akibat perbedaan idiologi dan orientasi primordial dengan tegas mencair sehingga ia menempatkan lebaran sebagai momen integrasi masyarakat Indonesia.
Alangkah indahnya jika hal tersebut dapat terealisasi di era reformasi sebagaimana yang kita rasakan dewasa ini. Di mana konflik yang terus menerus terjadi baik di pusat maupun di daerah-daerah, pada lebaran ini bisa mencair. Anggota-anggota masyarakat mampu menempatkan hubungan yang harmonis, bisa mengesampingkan kepentingan pribadi dan golongan, sehingga muncul solidaritas yang seakan-akan tanpa panrih, kecuali untuk kepentinganagama, nusa dan bangsa. Betapa hinanya orang yang tidak mau bergaul secara baik dengan sesamanya, ia akan dicap sebagai orang yang arogan, angkuh, sombong dan egois. Bahkan ia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya, karena pada dasarnya sebagai manusia, ia tidak akan mungkin dapat hidup tanpa jasa dan bantuan orang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah swt.
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الأنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (١١٢
Artinya :
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. Ali Imran: 112)
Saudara, hadirin dan hadirat sekalian yang berbahagia. Dalam konteks sosiologis pun lebaran meiniliki makna yang krusial dan signifikan, Idul Fitri merupakan momen integritas dan solidaritas masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan, khususnya bagi para migran yang telah terkondisikan dalam hiruk pikuk dan hingar bingar kehidupan kota. Dengan mudik misalnya mereka ingin menemukan kembali masa lalunya di tempat asal. Mereka yang kesehariannya selalu di hitung dengan angka dan diperlakukan sebagi skrup-skrup kecil dalam mesin-mesin raksasa kota, ingin kembali diperlakukan sebagai manusia, mereka tinggalkan kota walaupun hanya sementara untuk menikmati kembali wajah kampung halaman rumah, ke sungai tempat mereka dulu mandi, ke lapangan tempat mereka bermain, merebah di pangkuan ibu dan bapak, berkumpul dengan sanak keluarga, menjalin kembali tali persaudaraan yang sekian lama terpisahkan oleh jarak dan kepeningan masing-masing. Sungguh membahagiakan dan kebahagiaan itu diungkapkan dengan memperbanyak takbir, tauhid dan tahmid mengagungkan kebesaran Asma Allah swt.
Dengan didasari relegiusitas yang tinggi di hati lebaranuntuk sementara gerak otomistik dan individualistik yang di sebabkan oleh dorongan ekonomi dapat diturunkan dan didinginkan. Kemudian setelah lebaran usai mampu bangkit memulai aktivitas kembali dengan tetap disertai semangat relegimitas yang tinggi, sebagaimanifestasi tumbuhsuburnyanilai-nilaidi tanam di bulan Ramadhan. Kita berharap dengan Idul Fitri akan tercipta masyarakat yang fitri pula, yaitu suatu masyarakat yang aman, damai dan sentosa dalam keanekaragaman yang kaya dan yang miskin, yang cerdas dan yang bodoh, yang tua dan yang muda, yang majikan dan yang buruh, yang memerintah dan yang diperintah tidak ada yang dihinakan, tidak ada yang merasa ditindas atau diperas, dan tidak ada yang merasa di anak tirikan. Segenap lapisan masyarakat merasa aman, damai dalam eksistensinya karena sadar akan posisi dan fungsi masing-masing, di mana antara yang satu dengan yang lain saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Demikianlah, yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan yang baik ini, mudah-mudahan dengan beridul fitri, kita benar-benar dalam keadaan fitri, suci lahir dan batin.
Bilahitaufiq wal hidayah, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh.
Demikian Contoh Pidato Halal Bihalal (Idul Fitri), Baca juga berbagai macam contoh pidato pada blog kata estetika ini, Pidato Acara Perpisahan, Sekolah, Kantor, Pidato Sambutan Pada acara Reunian
okey trims atas sumbangsih pikiran dalam bentuk tulisan
ReplyDelete