Beranda Teks Pidato Tata Bahasa Sastra Ceramah Khutbah Arti Kata Puisi

HAMKA | Tokoh Sastra | (1908-1981)

Sastrawan, Politikus & Ulama BesarHamka adalah sebuah nama yang mempunyai banyak pengertian, sastrawan, politikus, penyair, penulis, pengarang, dan masih banyak nama lain sebagai sinonim bagi dirinya.Dia lahir di Sungai Batang, pinggiran Danau Maninjau pada tanggal 16 Februari 1908. Hamka kecil sering dipanggil si Malik. Semasa kecilnya bandel, pelajarannya di pesantren tidak pernah tamat, sekolah formalnya pun hanya sampai kelas dua SD. 

Akibat kenakalannya ini sang ayah yang seorang tokoh agama dan pendidik di Sumatera Barat sering memarahinyaiTidak tahan dengan kenakalan anaknya, ayahnya Dr. A. Karim Amrullah memindahkannya ke Parabek, Bukit Tinggi, tepatnya ke Sumatra Thawalib sebuah lembaga pendidikan yang dipimpin oleh temannya sendiri Syekh Ibrahim Musa Parabek. Tetapi di sekolahnya yang baru ini, Hamka tetap saja Hamka yang dulu. Iangankan belajar, berjumpa dengan buku pun jarang. Semenjak di Parabek mulailah terungkap sisi-sisi  kehidupan Hamka yang sebelumnya tidak terkenal.
Buya Hamka Sastrawan, Politikus, Ulama Besar

Semenjak tinggal di Parabek inilah Hamka mulai dikenal sebagai wasit pertandingan sepak bola, penyabung ayam, joki (penunggang kuda balap) dan tukang berkelahi. Pergaulannyalebih banyak dengan preman ketimbang kalangan terpelajar. Saking kuatnya naluri kependekarannya, sampai-sampai dia berani menantang berkelahi memakai pisau walaupun dia belum menguasainya. Seperti yang diceritakan sahabatnya sejak kecil Mohammad Zein Hassan, dalam Panji Masyarakat No, 39/1969. ”...belum lagi pandai melangkah empat, si Malik sudah berani menantang kelahi dengan pisau. Saya menyaksikan sendiri Si Malik tergelempang (terjatuh) berlumuran darah. Itu perkelahiannya yang kedua. Bekas luka terkena pisau tetap membekas dilengan kirinya”.

Menginjak usia 16 tahun Hamka mulai sadar dan mulai berpikir. Untuk menutupi kesuraman-kesuraman kehidupannya di masa lalu, Hamka pun mencoba merantau ke tanah jawa, tepatnya ke Yogyakarta untuk menimba ilmu kepada HOS Cokroamianoto.  Dari Yogyakarta dia menuju Pekalongan, di sini dia menimba ilmu dari AR Sutan Mansur, yang juga masih kerabatnya. Kendatipun dia dulu dikenal kenakalannya, semenjak memasuki gerbang usia dewasa ini dia mulai mencoba menggumuli ilmu.Sadar akan kekurangannya dia mulai membuka buku. Jiwa mudanya yang mulai haus pada ilmu mengantarkannya untuk berkelana ke tanah Jawa, Medan dan akhirnya belum genap usianya 20 tahun, pada tahun 1927 dia pergi ke Makkah. 

Pengalaman-pengalaman buruk di masa kecilnya tidak membuatnya putus asa tetapi bahkan dia menjadikan semua itu sebagai motivasi diri untuk membuktikan bahwa dia bukanlah si Malik  yang dulu dikenal sebagai ”preman”. Dia jadikan semua itu sebagai pengalaman berharga untuk mencari jati diri yang sebenarnya. Sungguh dia telah menjadikan pengalamannya sebagai alam terkembang jadi guru”. Justru dari seorang Hamka yang mencoba memasuki berbagai segi kehidupanlah, yang nantinya menjadikannya terkenal dan darinya mengalir berbagai pandangan, tulisan dan karyanya. Dunia politik mulai digelutinya ketika pada usia 17 tahun dia menjadi aktivis Muhammadiyah. Pada tahun 1946, Hamka terpilih dalam konferensi Muhammadiyah Sumbar sebagai ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat.  

Setahun kemudian, pada tahun 1947 dia turut ambil bagian menyusun Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru pada Kongres Muhammadiyah yang ke 31 di Yogyakarta.Pada kongres ke 32 di Purwokerto, Hamka terpilih menjadi Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Jabatan sebagai Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini selalu dipercayakan padanya pada setiap kongres sampai tahun 1971. 

Setelah tahun 1971, karena kesehatannya mulai menurun, Hamka tidak lagi menjadi Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah tetapi dia dipercaya menjadi Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.Tahun 1950, Hamka memboyong keluarganya Jakarta, dia mulai bekerja sebagai Pegawai Negeri di Departemen Agama mentrinya waktu itu KH Wahid Hasyim (Ayah dari Abdurrahman Wahid - Gus Dur). Sebagai pegawai negeri, Hamka mempunyai tugas mengajar pada beberapa perguruan tinggi Islam.Pada tahun 1955, Hamka dicalonkan dari Masyumi untuk menduduki kursi DPR dengan daerah pemilihan Jawa Tengah. Tapi dia hanya mau sebagai “votegetter” (pengumpul suara). Tapi akhirnya atas desakan iparnya AR Sutan Mansur, Hamka diminta agar menjadi anggota DPR. Hamka pun terpaksa menerimanya dan jadilah ia sebagai anggota konstituante.

Pada 1958, Hamka diundang ke Mesir. Di hadapan pemuka-pemuka Islam, Hamka menyampaikan pidato ”Pengaruh Muhammad ’Abduh (cikal bakal gerakan Muhammadiyah) di Indonesia”. Pidato ini mengantarnya untuk mendapatkan gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
Sejak suhu politik Indonesia memanas dengan keluarnya Dekrit Presiden Soekarno pada Juli 1959, dan Masyumi menjadi partai terlarang. Hamka memusatkan dirinya berdakwah dan memimpin mesjid agung AI-Azhar di depan rumahnya. Dan Hamka pun diberhentikan sebagai pegawai negeri.

Sebagai seorang penulis, Hamka terbilang sangat produktif.  Sekitar 300 judul buku telah ditulisnya. Buku-buku itu tidak hanya terbatas pada roman sastra, tetapi juga mengupas tentang agama dan budaya. Menurut Fuad Moh. Fachruddin dalam salah satu tulisannya "Hamka & Pandangan Mata Sastra” yang dimuat Berita Buana, Selasa I 5 September‘1982 hal. 4, menyatakan bahwa Hamka bukanlah novelis, tapi agamais. Ia membawa sastra di dalam cerita dan bukan cerita yang menampilkan sastra. Cerita yang memainkan kata tidak  digunakan oleh Hamka dalam hidup beragama.

Berbagai macam pandangannya tentang risalah keagamaan dia uraikan lewat karya-karyanya. Seperti Tasawuf  Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Budi, Pedoman Mubaligh Islam, semangat Islam, Sajarah Islam sumatera dari Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad. Karya-karya Hamka tentang kritikan terhadap sesuatu yang tidak sejalan dengan pandangan hidup yang dianutnya dan kritiknya terhadap adat istiadat Minangkabau yang bertentangan dengan Islam, antara lain :

Merantau ke Deli, Di jemput Mamak, Adat Minangkabau Menghadapi Revolasi, Dari Lembah Cita-Cita, Sesudah Naskah Revile, Negara Islam, Revolasi Agama, Revolusi Pikiran, Muliammadiyah Melalui Tiga Zaman,  Merdeka dan Islam dan Demokrasi. Sedangkan karyanya yang lain yang ditulis berdasarkan pengalaman-pengalamannya yang bersentuhan langsung dan dijadikan modal kepeduliannya tampak dalam Ayahku, Kenang-Kenangan Hidup, Riwayat Perjalanan ke Negara-Negara Islam dan Empat Bulan di Amerika. Memang Hamka menuliskan pandangannya bukan sebatas dunia sastra saja, melainkan juga dalam bidang politik, agama, budaya dan sejumlah masalah kemasyarakatan lainnya.

Di antara semua hasil karya yang telah ditulisnya, karyanya yang paling besar adalah Tafsir Al-Qur'an Al-Azhar sebagai karya puncak keberhasilannya yang diselesaikannya ketika dia berada di tahanan rezim Soekarno karena fitnahan kaum komunis. Baginya menulis merupakan wilayah profesinya. Maka tidak salah ketika dia menulis syair untuk seorang sahabatnya di Medan yang mengajaknya untuk terjun ke dunia politik 

”Lapangan siasat bukan medanku, Aku dikenal seorang pujangga, Yang bersayap terbanglah laju, Aku ’kan tetap pahlawan pena”.

Sebagai seorang ulama besar, Hamka pernah meletakkan jabatannya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia di masa Orde Baru, karena fatwanya melarang orang muslim mengikuti peribadatan agama lain, seperti mengikuti acara Natal yang sekaligus bersamaan dengan acara peribadatan.

Tanggal 24 Juli 1981, hari itu cuaca begitu tenang dan bersahabat. Tetapi keadaan ini sangat berbeda dengan perasaan hati semua rakyat Indonesia yang sedang dirundung duka, pasalnya pada hari itu seorang putera bangsa telah pergi untuk selamanya, menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) telah karya-karya besarnya bagi kita. Dialah sastrawan, politikus dan ulama besar yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Kebesarannya Sebagai sastrawan dan ulama tampak dari banyaknya para pelayat yang melepas kepergian terakhir pemimpin yang dicintainya. Ribuan umat manusia berjejalan disepanjang  jalan menuju pemakaman umum Tanah Kusir, Jakarta, sebagai tempat peristirahatannya yang terakhir sekedar untuk mengucapkan selamat jalan kepada Buya tercinta.

"Inna Lillahi Wainna Ilaihi Raaji'un"

Selamat jalan wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, masuklah ke dalam golonganku, dan masuklah kedalam syurgaku. Wallahu Alam !!!
Anda baru saja membaca Selayang Pandang Tentang HAMKA |  Tokoh Sastra | (1908-1981), Jangan Lupa baca juga yang lainnya, Inilah Pemuda Kesayangan Nabi SAW | Usamah Bin Zaid, Tiga Istri Serumah | Madu-Madu Manis

(Disarikan dari berbagai sumber). 
Penulis : Saefal Ahmad Riyadi, Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Arab IAIN SGD Bandung th. 2003

0 komentar:

Post a Comment

Terima Kasih telah berkunjung diblog Kata Estetika ini, silahkan tinggalkan komentar anda,